Di era modern saat ini, bahan bakar minyak (BBM) solar untuk sektor
industri menjadi kebutuhan yang sangat vital. Fungsi solar sebagai
pembawa energi yang paling mudah penanganan dan penyimpanannya,
menjadikan permintaan solar dari waktu ke waktu terus meningkat.
Pertumbuhan permintaan solar industri pun meningkat dari tahun ke tahun. Tak heran bila harga BBM terus meningkat. Era perdagangan bebas dan keterbukaan yang melanda dunia menjadikan sektor penyediaan solar industri di Tanah Air juga bergeser dari pola pemasok tunggal menjadi majemuk.
Saat ini, pasokan solar industri tidak hanya datang dari PT Pertamina, tapi juga swasta nasional dan multinasional bisa ikut memasok.
Persaingan bebas dengan multisuplai tersebut tak terhindarkan. Namun, persaingan itu membawa dampak positif, karena menciptakan mekanisme pasar dalam pengendalian harga bahan bakar.
Pertumbuhan permintaan solar industri pun meningkat dari tahun ke tahun. Tak heran bila harga BBM terus meningkat. Era perdagangan bebas dan keterbukaan yang melanda dunia menjadikan sektor penyediaan solar industri di Tanah Air juga bergeser dari pola pemasok tunggal menjadi majemuk.
Saat ini, pasokan solar industri tidak hanya datang dari PT Pertamina, tapi juga swasta nasional dan multinasional bisa ikut memasok.
Persaingan bebas dengan multisuplai tersebut tak terhindarkan. Namun, persaingan itu membawa dampak positif, karena menciptakan mekanisme pasar dalam pengendalian harga bahan bakar.
Agar konsumen tidak dirugikan, secara kuantitas maupun kualitas, pemerintah mengatur secara khusus mutu solar industri di Tanah Air lewat Surat Keputusan Dirjen Migas Kementerian ESDM No 3675 K/24/DJM/2006 yang diterbitkan pada 17 Maret 2006. Regulasi ini menyatakan bahwa solar yang dipasarkan di Indonesia harus memenuhi spesifikasi teknis sesuai aturan tersebut.
Dengan rentang nilai parameter spesifikasi yang masih lebar, para penyedia bahan bakar solar mempunyai pilihan yang leluasa untuk memainkan kualitas produknya dalam rangka mendapatkan harga jual yang kompetitif. Bahan bakar adalah produk teknologi. Di sana kualitas sangat ditentukan oleh proses pembuatannya. Dalam dunia industri dikenal filosofi 5M (Material, Machine, Method, Man, Money) guna menciptakan produk yang berkualitas. Dengan demikian, bahan bakar solar berkualitas tinggi hanya dapat dihasilkan jika minyak bumi yang digunakan sebagai bahan baku adalah bermutu tinggi. Mesin yang dipergunakan untuk melaksanakan prosesnya dipelihara dengan baik. Metode pemrosesannya standar dan selalu dijaga keberlanjutannya.
Kecuali itu, para pekerja yang mengendalikan dan mengontrol proses produksinya di kilang juga harus memiliki kompetensi dan dedikasi yang tinggi. Semua itu tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit, sehingga bahan bakar solar untuk industri dengan kualitas tinggi biasanya harga jualnya juga tinggi.
Sejatinya, sangatlah sulit untuk mendapatkan bahan bakar berkualitas tinggi tetapi dengan harga murah. Kondisi masyarakat Indonesia yang masih lebih mengutamakan harga dibanding kualitas dan rentang spesifikasi solar yang masih lebar, menjadikan peluang untuk memainkan kualitas guna mengejar harga jual rendah. Karena itu tidak heran jika kehadiran bahan bakar dengan harga lebih murah mendapat sambutan yang hangat oleh masyarakat.
Harga murah kerap menjadikan masyarakat lupa akan prinsip dasar, sebenarnya membeli bahan bakar adalah membeli energi, bukan membeli komoditas. Masyarakat juga lupa bahwa sebagai produk teknologi harga bahan bakar biasanya mencerminkan kualitasnya.
Prinsip utama bahwa bahan bakar adalah media pembawa energi tercermin dalam parameter spesifikasi yang disebut sebagai nilai kalor. Sayangnya parameter spesifikasi yang sangat penting ini tidak diatur batasan minimumnya di dalam SK Dirjen Migas.
Di samping itu, penyedia bahan bakar juga sering tidak menginformasikan parameter penting ini kepada konsumen, kalau tidak diminta. Akibatnya, masyarakat menjadi sulit untuk membandingkan kualitas bahan bakar secara langsung. Nilai kalor yang merupakan tolak ukur kandungan energi bahan bakar per satuan massa (misal MJ/kg) dan transaksi bahan bakar di Indonesia yang biasanya dilakukan dalam satuan harga per satuan volume (misal Rp/liter) memerlukan data nilai massa jenis atau densitas yang biasanya dinyatakan dalam massa per satuan volume (misal kg/liter) ketika hendak mela-kukan perbandingan harga energi bahan bakar (misal Rp/MJ).
Jika nilai kalor dilambangkan sebagi NK, dan densitas dengan D, dengan melakukan perhitungan sederhana, mengalikan NK dengan D akan didapat gambaran, berapa besar kandungan energi bahan bakar per liter (misal MJ/liter). Jika parameter ini disebut sebagai energi per liter bahan bakar atau EPL, harga EPL = NK x D, yang dapat dipergunakan konsumen untuk menilai bahan bakar mana yang mengandung energi paling banyak meskipun volumenya sama-sama satu liter.
Perbandingan harga EPL dari lima merek bahan bakar solar yang beredar di Indonesia memberikan gambaran perbedaan yang cukup signifikan. Selisih harga yang tertinggi dan terendah bisa mencapai 5,9 MJ/liter atau berbeda sekitar 15,6%.
Grafik perbandingan harga EPL dari lima bahan bakar solar di atas memberikan bukti bahwa tidak selamanya konsumen memperoleh energi yang sama pada setiap liter bahan bakar solar yang dibeli. Dengan prinsip dasar bahwa membeli bahan bakar adalah membeli energi maka semestinya konsumen membeli bahan bakar solar merek A, karena kandungan energi pada setiap liternya adalah yang paling tinggi.
Jika harga bahan bakar di Indonesia biasa dinyatakan dalam Rupiah per liter disebut sebagai RPL (Rp/liter), membagi harga RPL dengan EPL akan didapat informasi harga energi bahan bakar atau HE (misal Rp/MJ). dengan kata lain HE = RPL / EPL.
Dari perhitungan sederhana terlihat bahwa harga bahan bakar Rupiah per liter (RPL) yang murah, belum tentu murah dalam arti sebenarnya, jika nilai kalor (NK) dan densitasnya (D) rendah. Selisih diantara harga tertinggi dan terendah bisa mencapai Rp 18,30 /MJ atau sekitar 9,6%.
Grafik perbandingan harga HE dari lima bahan bakar memberikan informasi bahwa harga energi termurah ternyata justru diperoleh dari bahan bakar solar dengan harga rupiah per liter yang paling mahal. Dengan demikian terlihat nyata bahwa prinsip dasar membeli bahan bakar adalah membeli energi, harus mempertimbangkan nilai kalor, densitas dan harga per liter, jika secara nyata ingin mendapatkan energi yang termurah. Pertimbangan yang cermat seperti ini akan mengantarkan kepada efektifitas dalam biaya operasi mesin-mesin yang memerlukan bahan bakar solar.
Di samping memperhitungkan harga energi yang paling murah, pembelian bahan bakar juga harus mempertimbangkan pengaruh kualitas bahan bakar terhadap biaya pemeliharaan, umur pakai mesin dan emisi gas buang yang timbul. Sejalan dengan kesadaran manusia untuk menjaga kelestarian lingkungan, berbagai negara di belahan bumi menetapkan batas ambang emisi gas buang yang semakin ketat. Emisi gas buang adalah produk pembakaran mesin, karena itu usaha untuk menurunkan emisi berhubungan dengan pengembangan teknologi mesin yang lebih ramah lingkungan.
Berbagai penyempurnaan teknologi mesin dilakukan dan pada akhirnya hal tersebut bermuara kepada tuntutan akan spesifikasi bahan bakar yang aman untuk dipergunakan pada mesin dengan teknologi ramah lingkungan. Guna memenuhi tuntutan ini, para pembuat mesin bersepakat untuk menentukan spesifikasi bahan bakar yang sesuai dengan teknologi yang telah mereka ciptakan. Kesepakatan ini kemudian dituangkan dalam World Wide Fuel Charter (WWFC) yang merupakan pedoman spesifikasi bahan bakar dunia.
WWFC membagi spesifikasi bahan bakar dalam beberapa kategori, sesuai dengan standar emisi Euro yang juga dibuat secara berjenjang. Kategori-1 adalah bahan bakar yang akan mampu memenuhi batas ambang emisi gas buang Euro-1, dan seterusnya. Secara umum kualitas bahan bakar solar dalam kaitannya dengan kinerja dan umur pakai mesin dapat dilihat pada parameter bilangan Cetana, kandungan Sulfur, kandungan Partikulat, kandungan Air dan sifat Kelumasannya.
Bahan bakar Solar dengan kandungan Sulfur, Partikulat dan Air yang rendah hanya mungkin dihasilkan dari proses kilang yang panjang, rumit dan memerlukan biaya proses yang tidak murah. Oleh karenanya, bahan bakar Solar dengan kualitas tinggi, pastilah mahal harganya. Sementara itu, sifat Kelumasan bahan bakar Solar yang rendah Sulfurnya hanya bisa dicapai jika ditambahi aditif.
Dari tuntutan ini makin terlihat bahwa sebenarnya tidaklah mungkin bahan bakar berharga murah tetapi memiliki kualitas yang baik. Kandungan Sulfur, Abu dan Air yang rendah sangat dituntut oleh para pembuat mesin Diesel berteknologi tinggi. Pengaruh gabungan dari ketiganya akan menimbulkan kerusakan mesin yang cukup fatal, seperti halnya penyumbatan filter yang lebih cepat, kerusakan pompa bahan bakar dan injektor yang memerlukan biaya pemeliharaan sangat mahal. Usia pakai komponen-komponen tersebut yang pendek juga akan menyebabkan turunnya kehandalan mesin, sehingga memicu kerugian produksi yang besar.
Ilustrasi sederhana yang menggambarkan kerusakan injektor lebih sering pada bahan bakar Solar berkadar Sulfur tinggi, menunjukkan bahwa penghematan yang diperoleh dari pembelian bahan bakar murah justru akan menimbulkan kerugian besar pada penggunaan jangka panjang. Demikian pentingnya arti dari kualitas bahan bakar, sehingga parameter spesifikasi yang dominan harus diperhatikan dan diperbandingkan, sebelum memutuskan membeli bahan bakar dengan harga tertentu.
Saat ini di pasar bahan bakar dunia beredar berbagai kualitas bahan bakar, mengingat batas ambang emisi masih berbeda-beda di berbagai negara. Hal ini membuka peluang pula bagi penyedia bahan bakar di Indonesia untuk memilih berbagai tingkat kualitas bahan bakar, mengingat Indonesia adalah salah satu negara yang belum mewajibkan dan mene-rapkan peraturan ambang batas emisi secara ketat. Apalagi dengan posisi penyedia bahan bakar di Indonesia kebanyakan adalah baru sebatas importir, penyesuaian kualitas sangat mudah dilakukan demi mengejar harga jual yang rendah.
Dalam persaingan bisnis bahan bakar saat ini, unggul dalam hal harga energi dan kualitas saja belum cukup. Masih diperlukan faktor lain dalam bentuk layanan yang dapat me-muaskan konsumen dan jaminan ketepatan waktu pengiriman. Kedua hal ini tentu sulit dicapai jika penyedia bahan bakar tidak memiliki jaringan distribusi yang luas, yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia.
PT Pertamina yang berpengalaman memasok bahan bakar paling lama di Indonesia, memiliki jaringan distribusi yang mencakup seluruh wilayah di Tanah Air. Jaminan kualitas dan kuantitas menjadi target utama Pertamina guna memuaskan pelanggannya, yang terus ditingkatkan dari waktu ke waktu.